Home » » Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit (Panglima Para Jenderal Hijau)

Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit (Panglima Para Jenderal Hijau)

Jenderal M Jusuf, Panglima Para Prajurit (Panglima Para Jenderal Hijau)


Fahreenheat.com- Dia panglima yang paling dekat dan dicintai oleh prajurit. Semasa menjabat Menhankam/Pangab jenderal bintang empat ini sangat sering mengunjungi asrama prajurit. Salah seorang putra terbaik bangsa dan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kelahiran Kayuara, Bone Selatan, 23 Juni 1928, ini meninggal dunia dalam usia 76 tahun di Makassar, 8 September 2004, pukul 21.35 Wita. Indonesia berduka! Mabes TNI dan masyarakat Sulawesi Selatan mengibarkarkan bendera setengah tiang selama tujuh hari.

Mantan Menteri Preindustrian dalam enam periode kabinet (1864-1978), ini meninggal dunia di kediamannya di Jalan Sungai Tangka Nomor 2, Makassar, Sulawesi Selatan didampingi isterinya Elly Saelan bersama semua sanak keluarga terdekat, di antaranya dua kemenakannya, Andi Hery Iskandar dan Andi Oni Tenri Gappa serta tim medis yang selama ini merawatnya. Sementara anak tunggalnya, Jaury Jusuf Putra, sudah lebih dulu meninggal. (Patung anaknya dibuat di depan Rumah Sakit Akademis Jaury Jusuf Putra di Makassar).

Sehubungan dengan meninggalnya panglima yang sangat dicintai para prajurit ini, Markas Besar (Mabes) Tentara Nasional Indonesia (TNI) memerintahkan markas jajaran TNI di seluruh Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang selama tujuh hari, terhitung mulai 8 September 2004. Begitu pula Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan menyerukan kepada masyarakat Sulsel mengibarkan bendera Merah Putih selama tiga hari. M Jusuf dianggap sebagai seorang tokoh nasional yang mempunyai jasa-jasa yang sangat besar dalam sejarah pembangunan di Sulawesi Selatan dan di Indonesia.

Dia seorang pejuang yang tegas, jujur, besih dan berani. Bangsa Indonesia sungguh kehilangan salah seorang putera terbaik dan tokoh panutan yang terus mengabdikan dirinya bagi bangsa dan negara hingga akhir hayatnya. Sejumlah pelayat berdatangan ke rumah duka. Dalam pandangan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Jenderal Jusuf merupakan satu dari tiga jenderal yang dikaguminya selain Sudirman dan Benny Moerdani. Menurut Gus Dur, dia jenderal yang bersahaja dan dekat dengan prajuritnya. Dia sangat memperhatikan kesejahteraan prajurit.

Dia seorang prajurit sejati. Salah satu catatan karirnya yang cemerlang dalam bidang militer, selain kegemilangannya saat menjabat MenhankamPangab, adalah ketika menumpas pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan.

Siapa berani menampar dan memarahi Liem Soei Liong?

Sejauh yang bisa diceritakan, di antara para jenderal, hanya dua di antaranya yang pernah menegur dan memarahi Liem Soei Liong, yaitu Letnan Jenderal HR Dharsono dan kemudian Jenderal Muhammad Jusuf.

Jenderal HR Dharsono saat menjadi Dubes RI di Bangkok, memarahi Liem karena perilaku seenaknya ketika ia ini bertamu ke kedutaan untuk menemuinya. HR Dharsono tidak peduli Liem itu ‘sahabat’ Soeharto atau siapa. Jangankan Liem, Jenderal Alamsyah yang saat itu menjadi salah satu menteri di kabinet Soeharto pun pernah ditegur HR Dharsono, akibat perilaku anak-isteri sang menteri yang membuat masalah di Bangkok.

Tetapi yang lebih seru adalah cerita mengenai teguran Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf kepada Liem yang datang ke kediaman Presiden Soeharto dengan pakaian seenaknya. Bahkan, diceritakan bahwa Jenderal Jusuf sampai melayangkan tamparan ke wajah taipan besar ‘sahabat’ Soeharto ini.

Mungkin Soeharto yang punya kebiasaan ‘ngopi’ bersama ‘sahabat’ lamanya itu di Cendana, hanya bisa diam dan kecut ketika Liem melaporkan insiden ini kepadanya.  Sepanjang yang bisa diketahui, Soeharto tak pernah menyinggung soal ini kepada Jusuf. Adapun Jenderal Jusuf sendiri, dalam buku yang disusun Atmadji Soemarkidjo, ‘Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit’, hanya menyebutkan bahwa semasa menjadi Menteri Perindustrian ia beberapa kali bertemu Liem maupun puteranya, Anthony Salim, dan hubungan itu baik-baik saja.

Sang Jenderal dari Bone ini juga menjadi aktor atas konsolidasi rezim militer Orde Baru. Tapi bukan semata sebagai wayang atau suruhan Soeharto semata, melainkan memainkan perubahan-perubahan mendasar atas wajah militer Indonesia (terutama TNI Angkatan Darat). Pada masa beliau, militer tengah melakukan konsolidasi, penguatan ideologisasi dwi fungsi ABRI, sekaligus penataan struktur militer yang masih berjalan hingga saat ini. Jika boleh disebut, maka M. Jusuf melakoni proses strategis ini hingga tuntas, bertakhta di pucuk tertinggi, yakni sebagai Panglima ABRI (sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan, pada 1978-1983).

Namun putaran takdir berbicara lain. Dibalik gempita sanjungan, karirnya kemudian menurun, persis di saat Soeharto menggeser posisi M. Jusuf, lantas menjadikan Jenderal L.B. Moerdani sebagai Menpangab. Beliau kemudian “hanya” ditempatkan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (waktu itu disebut Bapeka). Ujung perjalanan militer inilah yang menjadi kesedihan banyak orang. Sebelumnya, banyak pihak mengira M. Jusuf-lah yang menjadi Putera Mahkota Pak Harto, untuk kemudian menjadi Presiden

Tetapi memang sedemikian gaya manajemen kekuasaan Pak Harto. Beliau tak pernah membiarkan ada dua matahari yang bersinar. Jenderal Soeharto selalu ingin semua berada di bawahnya. Popularitas M. Jusuf harus mangkrak, alias surut.

Seorang penulis Australia, bernama David Jenkins, pernah melakukan riset atas polah Pak Harto dalam “mempermainkan” para Jenderal penting yang menjadi lingkaran dalamnya. Ia menulis buku laku, yang berjudul: Soeharto dan Para Jenderal Orde Baru. Dalam buku ini ia menyebut belasan nama Jenderal Orde Baru yang harus tanggal di ujung karir, padahal mereka dielus untuk menjadi pemimpin puncak negeri ini. Kebiasaan Pak Harto adalah: tak pernah mempercayai siapapun. Selalu membuat intrik dan mengadu domba para Jenderal. Sekaligus menciptakan situasi yang membuat para Jenderal bersalah, untuk kemudian dihukum (dengan cara lunak atau keras). Waktu itu, publik masih ingat puluhan nama Jenderal (senior, purnawirawan, eks Pati), yang tergabung dalam Petisi 50, yang mengecam keras gaya Pak Harto. Demikian juga nama-nama Jenderal di luar Petisi 50, yang terpental dari lingkar kekuasaan. Bisa disebut, misalnya, Jenderal Ali Moertopo, Jendral Soemitro, Jenderal M. Pangabean, Jenderal Simatupang, Jenderal Yoga Sugama, Jenderal Widodo, Ali Sadikin, dan juga Jenderal M. Yusuf. (ndi)

sumber: dari berbagai sumber
Sumber: http://www.fahreenheat.com/jenderal-m-jusuf-panglima-para-prajurit-panglima-para-jenderal-hijau/

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.