Home » , » Umat Islam di Ujung Bedil

Umat Islam di Ujung Bedil

Banyak manusia zhalim yang diberi Allah kesempatan untuk bertaubat dengan dikaruniai umur panjang. Ada yang mengakhiri hidupnya dengan kebaikan dan penyesalan atas perbuatannya di masa lalu. Seperti Abu Sufyan yang dahulu paling getol memusuhi Rasulullah namun kemudian masuk Islam dan wafat dalam kebaikan.

Namun, ada juga manusia seperti Ariel Sharon yang tetap kukuh dalam kekufuran dan kezhaliman sampai ajal menjemput. Umur panjang tak dimanfaatkannya untuk menutup keburukan dengan kebaikan. Kematian yang diundurkan tak membuatnya memilih mati dalam kondisi bertaubat.

Di Indonesia, ada LB Moerdani yang sampai ajalnya tiba tak pernah bertaubat. Minimal menyatakan penyesalan atas tragedi pembantaian ratusan Muslim di Tanjung Priok. Sebagai Panglima ABRI waktu itu, Moerdani seharusnya bertanggung jawab atas tindakan sepasukan anak buahnya. Tapi, ia justru memilih menutup-nutupi kasus itu dengan bantuan Abdurrahman Wahid yang menyertainya berkeliling pesantren.

Kini kesempatan menyatakan taubat dan penyesalan masih terbuka bagi mereka yang punya sejarah kezhaliman pada kaum Muslimin. Termasuk bagi Hendropriyono yang menjabat Danrem Garuda Hitam ketika ratusan Muslim gugur sebagai korban dalam pembantaian di Talangsari 1989 silam.



Seperti Ariel, karier Hendro menjulang. Kalau Ariel berhasil mejadi Perdana Menteri Israel, Hendro mencapai puncak karier sebagai Kepala BIN. Pangkat Hendro bahkan lebih tinggi daripada Ariel yang cuma bintang dua. Ia mendapat bintang empat setelah pensiun, hadiah dari Megawati yang sempat menjadi kontroversi.

Namun sayangnya, belum ada tanda-tanda Hendro bertaubat dan menyesali dosanya di masa lalu. Setelah pensiun ia justru kerap muncul di televisi untuk menyerang kaum Muslimin.

Tudingannya terhadap Islam radikal sebagai biang terorisme menunjukkan sikapnya yang belum berubah: memusuhi umat dan gerakan Islam. Tuduhannya bahwa terorisme berakar dari paham Wahabi menunjukkan ia menabuh gendang yang sama dengan para perancang kebijakan Amerika yang ingin mengadu domba kaum Muslimin.

Terakhir ia mengajak media untuk tak lagi menggunakan kata “terduga” bagi teroris dan tak perlu bersimpati untuk pembunuhan mereka yang belum jelas kesalahannya di tangan Densus 88.

Sepertinya Hendro lupa terhadap kiprahnya di Talangsari. Apakah manusiawi menyerbu perkampungan sipil dengan sepasukan tentara? Menewaskan penduduknya yang cuma petani. Bahkan membakar mushala yang menjadi tempat berlindung perempuan dan anak-anak.

Media yang rajin mengundang Hendro pun seharusnya malu. Masih banyak narasumber lain yang track recordnya lebih bersih. Tak perlu mengundang maling untuk meneriaki orang lain sebagai pencuri.

Hendro yang kelahiran 1945 telah menginjak umur 69. Meski ajal rahasia Allah, sudah sepatutnya usia yang lanjut menyadarkan manusia bahwa kematian sudah dekat. Jangan sampai menjumpai su’ul khatimah seperti Ariel Sharon dan Moerdani.

Saat ini Sang Jagal Penjahat Kemanusiaan Talangsari dan pembunuh Munir jadi penasihat Tim Transisi Jokowi dan bahkan (mungkin) masuk kabinet Jokowi, umat Islam ada di ujung bedil.



0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.