Lima bulan terakhir ini ruang udara kita diramaikan oleh kegiatan pilih-memilih dan pernak-perniknya. Dari pileg hingga pilpres. Kita menyaksikan banyak fenomena mewarnai pesta demokrasi tersebut.
Pada masa pileg, hal yang paling berkesan bagi saya adalah banyaknya orang yang mendadak jadi artis dan foto besarnya tertempel di pohon dan tiang sepanjang jalan. Mulai dari orang yang memang berkompeten dan berniat baik untuk bangsa dan sepak terjangnya juga sudah diketahui masyarakat, sampai si ‘pengangguran’ tak terkenal sedikitpun yang ‘butuh pekerjaan’ yang rela mengundi nasib dan rela keluarkan banyak modal demi menjadi artis lima tahunan. Praktek money politics juga masih mewarnai serunya pileg di mana saya tinggal (2 tempat).
Dan berkesan yang paling menyayat hati (?) saya adalah ketika menyadari tingkat keapatisan masyarakat disebabkan oleh belenggu kebodohan. Yaitu ketika begitu banyak orang -yang saya temui- berfikir bahwa : semua caleg yang ada adalah buruk dan busuk. Mereka teramat hipokrit. Mereka sporadis menyimpulkan : siapa pun yang jadi anggota dewan nantinya, prilakunya akan sama dan nasib mereka (rakyat/pemilih) tetap sama saja. Jadi lebih baik memilih yang sudah pasti memberinya uang sebelum pencoblosan. Itu lebih nyata.
Menurut hemat saya itu adalah kebodohan berjamaah yang harus segera diantisipasi/dicerdaskan agar tidak memalukan demokrasi.
Dan fenomena yang hampir analog juga terulang di momen pilpres Juli lalu. Ada dua golongan yang menurut saya utopis menyikapi pilpres kemarin. Pertama adalah orang yang sok suci menilai kedua kubu sama bejatnya sama busuknya sama ambisinya. Orang orang macam itu, kata saya, mereka hanya tinggal di dalam dunia mimpi kalau hanya menuntut kesempurnaan dan maunya dihadapkan pada pilihan yang baik-baik saja.
Kedua adalah golongan orang-orang apatis karena ketidak tahuannya (kalau tak ingin disebut kebodohan). Yaitu orang-orang yang berfikir : siapa pun yang jadi presiden nasibnya sama saja toh dia masih harus bekerja. Kalau tak mau berkerja ya jangan hidup, betul tidak?
Pilpres 9 Juli lalu hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakilnya. Perbedaan yang sangat mencolok ada di barisan pendukung masing-masing. Pasangan nomer 1 didukung -utama- oleh partai berbasis nasionalis religius dan mendapat dukungan dari para ulama serta kyai. Sedang pasangan nomer 2 diusung oleh partai sekuler dan didukung aktivis liberal, syiah, juga ahmadiah dan islamphobia lainnya. Kelihatan nyata sekali perbedaan kepentingan antarkubu pendukung. Siapa yang menginginkan keutuhan dan kesejahteraan RI dan siapa yang hanya pencitraan semata. Banyak orang masih mengira bahwa presiden dan wakilnya hanya soal jabatan dan ‘prestise’ dua orang semata. Padahal, sejahtera dan tidaknya sebuah negara diawali dari pemimpin yang adil.
Juga sebagaimana pileg, pilpres memberi kesan tersendiri bagi saya. Hal yang membuat saya terkesan justru dari pasangan nomer 2 beserta pendukungnya. Berikut saya tulis lima hal saja. Biar tidak panjang. Hehe.
1. Capres yang pandai berakting. Berpose bak tukang tambal ban, tukang sapu, tukang jualan sayur. Tak ketinggalan tampil bersorban dan mendadak jilbab yang kemudian selepas pilpres, jilbab pun lepas.
2. Cawapres yang tadinya bilang : Hancur Indonesia kalau Jokowi presiden, ternyata malah jadi pendampingnya.
3. Belum juga pemungutan suara dilaksanakan, pendukung nomer 2 sudah heboh : hanya kecurangan yang dapat mengalahkan Jokowi-JK.
4. Degradasi intelektualitas para pendukung baik pra maupun pasca pencoblosan. Pasca pencoblosan salah satunya adalah dengan mengkultuskan quick count yang tidak sampai 1% sampel yang diambil.
5. Banyak pendukung nomer 2 yang gagal paham terhadap tahapan pilpres itu sendiri. Disebut presiden itu kalau sudah dilantik MPR. Lha ini kan baru 1/3 tahapan kenapa sudah hembring sendiri? Menebak kendaraan dinas lah, barang apa saja yang mau dibawa (kalau jadi) ke istana lah, membuat polling menteri lah. Aigo! Dan paling konyol adalah seruan legowo pada pihak rival. Padahal legowo itu kan artinya menerima dan membiarkan sesuatu berjalan dan berproses sesuai dengan tahapannya. Nah loe?
Mari kita bicara hal lain sebentar. Kita blak-blakan saja dan CMIIW. Kita bisa melihat bagaimana pola pikir dan pola hidup sebagian besar masyarakat. Buang sampah sembarangan, tidak tertib berlalu lintas, pelajar yang menyontek di sekolah, warga yang mudah disulut emosi, pedagang yang tidak jujur, pola pikir instan dan lupa proses, mengutamakan gengsi dan suka kepalsuan, dan yang serupa lainnya.
Kembali soal pilpres. Anda pasti ingat pernyataan memukau dari seorang Anies Baswedan. Bahwa pendukung mencerminkan yang didukung. Dan entah kebetulan atau bagaimana, slogan pasangan nomer 2 : Jokowi-Jk adalah kita.
Adakah korelasi antara pola pikir dan pola hidup sebagian masyarakat di atas dengan pilpres ini? Adakah analogi di sana? Inilah, balada pilpres tersebut. Pilpres ini, seperti kata Ridwan Kamil, walikota Bandung, dalam akun twitter beliau @ridwankamil: this pilpres shows many smart people with hi IQ but low EQ. Pilpres, capres-cawapres, dan pendukungnya ibarat gambaran umum tentang sikap, pola pikir, dan pola hidup masyarakat yang berjalan searah.
Lalu, sekarang apa? Hemat saya sih, kita semua introspeksi diri, tambah wawasan dan pengetahuan. Juga tingkatkan kesadaran berbangsa dan cintai tanah air. #cie-cie. Tidak ada sesuatu yang sempurna, sehingga jangan pernah menuntut itu karena nanti ujungnya kecewa. Paling tidak, nggak usah nyinyir kalau masih ada yang berusaha perjuangkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. ;)
–**–
Sumber: http://dyahsujiati.com/2014/08/02/balada-pilpres/
0 komentar:
Posting Komentar